Benarkah Kisah Tsa’labah?

Pagi ini sebenarnya saya ingin posting sebuah tema “Nikmat Membawa Sengsara”, jadi kebalikannya dari sebuah judul Film “Sengsara Membawa Nikmat”, dengan rencana mengambil contoh kisah Tsa’labah. Walau sudah sering mendengar kisah ini dan gampanglah menceritakan ulang kisah Tsa’alabah secara garis besarnya. Dimana awalnya Tsa’labah orang yang miskin, ketika selesai sholat jama’ah dimasjid langsung ngibrit pulang. Akhirnya pada suatu ketika ditanya Rasulullah, ternyata buru-buru pulang karena sarungnya gantian mau digunakan istrinya untuk sholat dirumah.  Akhirnya Tsa’labah minta kepada Rasulullah untuk di do’akan agar diberi banyak rezeki atau menjadi orang kaya. Pada awalnya Rasullah menolak, tapi setelah beberapa kali minta akhirnya dikabulkan dan singkat cerita Tsa’labah jadi orang kaya dengan memiliki banyak ternak. Setelah punya banyak ternak justru disibukkan mengurus ternaknya sampai akhirnya tidak pernah sholat di masjid, bahkan ketika diminta zakatnya Tsa’labah menolak. Tapi kemudian Tsa’labah sadar akan kesalahannya dan mendatangi Rasulullah untuk membayar zakatnya, tapi Rasulullah tidak menerima zakatnya bahkan menyuruh semua orang jangan mau menerima zakatnya hingga Rasullah wafat.

Ya, kurang lebih seperti itulah kisah Tsa’labah yang sering saya dan mungkin kita semua dengar. Tapi dengan maksud cari referensi lebih detail tentang kisah Tsa’labah ini, saya coba searching di internet dan Astaghfirullah, ternyata disebuah postingan (alhikmah.ac.id) meragukan kisah ini bahwa kisah ini tidak sah dari Rasulullah karena diriwayatkan oleh beberapa rawi yang dhaif, yakni: 

1. Mu’aan bin Rifa’ah As Sulami

Mayoritas imam jarh wa ta’dil mendhaifkannya. Yahya mengatakan: dhaif. Ar Razi dan As Sa’di mengatakan: laisa bihujjah (bukan hujjah). Ibnu Hibban mengatakan: “haditsnya tidak serupa dengan hadits-hadits yang kuat maka mesti ditinggalkan.” Al Azdi mengatakan: “haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah.” (Imam Ibnul Jauzi, Adh Dhu’afa wal Matrukin, No. 3353. Lihat juga Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, 3/36)

Al Jauzajaani mengatakan: bukan hujjah. Ya’qub bin Sufyan mengatakan: layyinul hadits – lemah haditsnya. Imam Ibnu Hibban mengatakan: munkarul hadits. Ibnu ‘Adi mengatakan: “kebanyakan hadits darinya tidak bisa diikuti.” (Imam Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, 10/182)

Imam Ibnu Hajar mengatakan: “Saya telah membaca tulisan Adz Dzahabi, bahwa Mu’aan wafat sekitar bersamaan dengan Al Auza’i, dan dia (Mu’aan) adalah pemilik hadits yang tidak teliti (mutqin).” (Ibid. Lihat juga Imam Adz Dzahabi, Mizanul I’tidal, No. 8619)

Abu Hatim mengatakan: haditsnya boleh ditulis tapi tidak bisa dijadikan hujjah. Yahya mengatakan: dhaif. (Imam Adz Dzahabi, Al Kasyif No. 5513)

Hanya sedikit yang mentsiqahkan, Duhaim mengatakan: tsiqah. (Ibid), begitu pula Ali bin Al Madini. (Imam Adz Dzahabi, Al Mughni fi Adh Dhuafa, No. 6309), Imam Ahmad mengatakan: laa ba’sa bihi – tidak apa-apa. (Imam Ibnu Al Mubarrad, Bahr Ad Dam, Hal. 152), Muhammad bin ‘Auf dan Abu Daud mengatakan: tidak apa-apa. (Imam Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahzib, 10/182)

Lalu bagaimana menilai Mu’aan bin Rifa’ah ini? Di tengah badai kritikan baginya namun ada pula yang memujinya. Kaidahnya adalah: jarh mufassar muqaddamun ‘ala ta’dilil ‘aam – kritikan yang terperinci lebih diutamakan dibanding pujian yang masih umum. Maka, dia tetap seorang perawi yang dhaif, sebab kritikan (jarh) yang diterimanya telah dirinci sebagaimana rincian Ibnu Hibban,ada pun pujiannya (ta’dil) masih bersifat umum. Wallahu A’lam

2. Ali bin Yazid Abu Abdul Malik

Imam An Nasa’i mengatakan: matrul hadits – haditsnya ditinggalkan. Imam Bukhari mengatakan: munkarul hadits – haditsnya munkar. (Imam Al Muqrizi, Al Mukhtashar Al Kamil fi Adh Dhuafa, No. 1338, Lihat juga Al ‘Uqaili dalam Adh Dhuafa, No. 1259)

Imam Ad Daruquthni memasukannya dalam kitabnya Adh Dhuafa wa Matrukin. (No. 408), selain itu beliau juga didhaifkan oleh Imam Ahmad, Imam Abu Hatim, dan Imam Abu Zur’ah. (Imam Abdurrahman bin Abi Hatim, Al Jarh wa At Ta’dil, No. 1142)

Imam Ibnu Hazm mengatakan: “Mu’aan bin Rifa’ah, Al Qasim bin Abdurrahman, dan Ali bin Yazid, semuanya adalah dhaif.” (Al Muhalla, 11/208)

Oleh karena itu, segenap para ulama pun telah mendhaifkan hadits ini.

Imam Ibnu Hazm mengatakan: “Hadza Baathil, li anna tsa’labah badriy ma’ruuf- hadits ini batil, karena Tsa’labah adalah dikenal sebagai Ahli Badar. ” (Lihat Al Muhalla, 11/208)

Imam Ibnu Hajar mengatakan: “Dhaif jiddan – lemah sekali.” (Takhrij Ahadits Al Kasyaaf, Hal. 77), juga didhaifkan oleh Imam As Suyuthi. (Asbabun Nuzul, Hal. 121), Imam Al ‘Iraqi. (Takhrij Ahadits Al Ihya’, 3/338), Imam Al Qurthubi. (Al Jami’ Li Ahkamil Quran, 8/210)

Syaikh Ali Hasyisy mengatakan dhaif jiddan. (Lihat Silsilah Al Ahadits Al Wahiyah, Hal. 248, No. 158), Syaikh Al Albani juga mengatakan: dhaif jiddan. (As Silsilah Adh Dhaifah No. 1607)

Catatan:

Hadits ini selain dhaif riwayatnya, tapi juga buruk secara makna, yakni telah menjadikan salah satu sahabat nabi yang mulia, bernama Tsa’labah bin Haathib seorang Ahli Badar dan golongan Anshar, sebagai sosok yang durhaka. Hal ini merupakan tuduhan yang berat kepadanya, dan dusta terhadapnya. Padahal Ahli Badar telah Allah Ta’ala maafkan dan diampuni dosa-dosanya, dan dijamin masuk surga, sebagaimana diriwayatkan oleh hadits-hadits shahih.

Dari Jabir Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لَنْ يَدْخُلَ النَّارَ رَجُلٌ شَهِدَ بَدْرًا وَالْحُدَيْبِيَةَ

Tidak akan pernah masuk ke neraka seorang yang ikut perang Badar dan Hudaibiyah. (HR. Ahmad No. 15297, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: hasan. Lihat Tahqiq Musnad Ahmad No. 15297. Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul ‘Ummal No. 33894, Syaikh Al Albani mengatakan: shahih. Lihat As Silsilah Ash Shahihah No. 2160)

Dahulu ada sahabat nabi, Hatib bin Abi Baltha’ah Radhiallahu ‘Anhu dan dia seorang Ahli Badar, yang telah membocorkan rahasia negara ketika menjelang penaklukan kota Mekkah (Fathul Makkah). Beliau mengirim utusan seorang wanita untuk membawa surat ke Mekkah kepada sanak familinya perihal penaklukan itu. Namun Rasulullah mengetahui rencana Hatib ini, Beliau mengutus Ali, Az Zubeir, dan Miqdad untuk mengejar utusan tersebut, dan akhirnya terkejar.
Para sahabat pun marah kepada Hatib bin Abi Baltha’ah, bahkan Umar mengatakan: “Ya Rasulullah, Da’ni adhribu ‘unuqa haadzal munaafiq – Ya Rasulullah, biarkan saya memenggal leher si munafiq ini.”

Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّهُ قَدْ شَهِدَ بَدْرًا وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَكُونَ قَدْ اطَّلَعَ عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ

Dia telah ikut perang Badar, apakah engkau tidak tahu bahwa barang kali Allah Ta’ala telah memandang Ahli Badar, lalu Dia berkata: lakukan apa yang kalian mau, kalian telah Aku ampuni. (HR. Bukhari No. 3007 dan Muslim No. 2494)
Demikian mulia kedudukan Ahli Badar, dan Tsa’labah bin Haathib juga termasuk Ahli Badar.

Selain itu, kisah dalam riwayat ini menunjukkan bahwa Allah Ta’ala menolak amal shalih dan maaf hambaNya. Ini juga bertentangan dengan sifat Allah Ta’ala sebagai Al Ghafur (Maha Pengampun) dan Ar Rahim (Maha Penyayang).

Kemudian riwayat ini juga mengandung makna bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak memaafkan Tsa’labah sampai dirinya wafat. Ini jelas bertentangan dengan akhlak Beliau yang asyidda’u ‘alal kuffar wa ruhama’u bainahum – keras terhadap orang kafir dan berkasih sayang terhadap mereka (orang-orang mukmin/para sahabatnya).

Maka, hendaknya kita hati-hati menyebarkan kisah ini, sebab akan membawa dampak pembunuhan karakter terhadap sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan itu pun menjadi dusta atas nama sahabat nabi dan merupakan celaan terhadap mereka. Dan, mencela sahabat nabi tidaklah sama dengan mencela manusia kebanyakan.

Wallahu A’lam

NB. Kita bisa ambil kisah lain yang sejenis berkaitan dengan Kufur Nikmat, yaitu Qorun. Karena kisah Qorun sangat bisa dipertanggungjawabkan karena ada didalam Al Qur’an

Ingin Miskin Malah Tambah Kaya

Saya sangat yakin bahwa sebagian besar orang ingin kaya raya raya dengan berbagai alasan, sehingga pikiran disibukkan dengan bagaimana mengumpulkan banyak harta, memperbanyak keuntungan dari perniagaan dan sebagainya. Ironisnya, waktu lebih banyak dihabiskan untuk dunia tanpa memperbanyak kebaikan untuk bekal akhirat. Tapi tidak demikian dengan para sahabat Nabi, salah satunya adalah Abdurrahman bin Auf yang berupaya keras agar dirinya jatuh miskin sehingga ia tidak memiliki harta sepeserpun. Dan jika kebanyakan orang senang mempunyai harta melimpah, namun berbeda dengan Abdurrahman bin Auf. Dengan harta yang dimilikinya, Abdurrahman bin Auf justru menangis karena khawatir dirinya akan memasuki surga paling terakhir.

Suatu ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam berkata, Abdurrahman bin Auf akan masuk surga terakhir karena terlalu kaya, sehingga dihisabnya paling lama. Mendengar hal tersebut, Abdurrahman bin Auf pun berpikir keras, bagaimana caranya agar ia kembali menjadi miskin supaya dapat memasuki surga lebih awal.

Suatu hari setelah perang tabuk, kurma yang ditinggalkan para sahabat di Madinah menjadi busuk sehingga harga jualnya jatuh. Mendengar hal tersebut, Abdurrahman bin Auf langsung menjual semua harta yang ia punya untuk membeli semua kurma busuk milik para sahabat dengan harga standar kurma yang belum busuk. Tentu saja semua sahabat bersyukur karena kurma yang busuk tersebut tiba-tiba diborong semuanya oleh Abdurrahman bin Auf, begitupun Abdurrahman bin Auf yang teramat senang dan ia berharap akan jatuh miskin.

Namun, tiba-tiba datang seorang utusan dari Raja Yaman. Dia memberitakan bahwa di negerinya sedang terkena wabah penyakit menular, sehingga raja Yaman mengutus dirinya untuk mencari kurma busuk. Menurutnya, kurma busuk adalah salah satu obat yang bisa menyembuhkan dari penyakit menular itu.

Akhirnya utusan raja Yaman tersebut memborong semua kurma milik Abdurrahman bin Auf dengan harga 10 kali lipat dari harga kurma biasa. Masya Allah, Allahuakbar! Disaat Abdurrahman bin Auf merelakan semua hartanya agar ia jatuh miskin, disaat itu pula Allah memberikan keberlimpahan harta berkali-kali lipat untuknya.

Dari Kisah Sahabat Nabi bernama Abdurrahman bin Auf terdapat banyak hikmah yang didapat, antara lain sebagai berikut.

1. Sesungguhnya harta hanyalah titipan dari Allah, ada hak yang dimiliki orang lain sehingga amat mudah bagi Aburrahman bin Auf untuk mengeluarkannya bagi orang lain.

2. Ketika kita lebih mementingkan kehidupan akhirat & membantu orang lain, Allah akan melipatgandakan nilai kebaikannya seperti dalam kisah tadi kurma busuk yang dimiliki Abdurrahman bin Auf dibeli dengan harga 10 kali lipat.

Kalau dalam Magnet Rezeki, ini adalah Spiritualmeter Full Speed yaitu pribadi +8, pribadi yang sudah tidak lagi memikirkan dunia tapi lebih memikirkan kehidupan akhirat dan bisa mencerahkan atau bisa sebagai panutan bagi orang lain.

Firman Alloh Subhanahu Wa Ta’ala :

مَنْ كَانَ يُرِيْدُ حَرْثَ الْاٰخِرَةِ نَزِدْ لَهٗ فِيْ حَرْثِهٖۚ وَمَنْ كَانَ يُرِيْدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهٖ مِنْهَاۙ وَمَا لَهٗ فِى الْاٰخِرَةِ مِنْ نَّصِيْبٍ

“Barangsiapa menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambahkan keuntungan itu baginya dan barangsiapa menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian darinya (keuntungan dunia), tetapi dia tidak akan mendapat bagian di akhirat.” (QS. Asy-Syura : 20)

Demikian, semoga kisah ini menginspirasi bagi kita semua dan dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Ya, walau mungkin kita belum bisa melepaskan dunia, tapi setidaknya  kehidupan akhirat lebih kita utamakan.  Aamiin.

#RahasiaMagnetRezeki
#BangZaen